Photo dari sini |
Kebutuhan daging merah yakni domba, kambing dan sapi di dalam negeri sendiri masih kekurangan sehingga membutuhkan suplai yang mencukupi. Pada daging kambing dan domba kebutuhan untuk daerah Jabodetabek saja masih belum terpenuhi, sehingga disuplai secara bergantian dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung secara bergantian. Selain itu menurut Aspaqin (Asosiasi Pengusaha Aqiqah Indonesia) telah terjadi ketimpangan suplai domba dan kambing akibat banyaknya domba dan kambing betina produktif yang dipotong atau disembelih. Kondisi ini menyebabkan keberlanjutan pasokan domba dan kambing itu sendiri menjadi terganggu. Menurut data Aspaqin (Asosiasi Pengusaha Aqiqah Indonesia) yang dihimpunnya bahwa telah terjadi penyembelihan betina sebanyak 63% dari anggotanya dari total 331.693 ekor yang disembelih. Tentu saja masih banyak yang tidak terdata karena masih banyak pengusaha aqiqah yang tidak menjadi anggota Aspaqin tersebut. Selain itu juga banyak warung-warung makan masakan kambing seperti warung-warung sate yang masih menyembelih domba dan kambing betina produktif. Upaya edukasi dan sosialisasi terus diupayakan Aspaqin untuk memperbaiki kondisi tersebut termasuk usulan untuk memberikan punishment terhadap penyembelihan betina produktif tersebut.
Sedangkan di sektor sapi potong, Indonesia memiliki keunggulan pada penggemukan sapi (feedlot) tersebut. Dengan tersedianya banyak limbah-limbah pertanian dan limbah agroindustri di Indonesia membuat usaha tersebut sangat kompetitif bahkan Indonesia terbaik. Apalagi ini dengan membuat suatu perkebunan yang dirancang secara khusus untuk sumber pakan tersebut dengan memanfaatkan lahan yang bisa dikatakan tidak produktif pada awalnya. Dengan hanya membutuhkan waktu hanya sekitar 100-120 hari penggemukan tersebut berhasil atau selesai dilakukan walaupun umumnya sapi bibit atau sapi bakalan umumnya masih import dari Australia. Australia khususnya Australia bagian utara adalah sentra sapi bakalan tersebut. Dengan luasnya padang penggembalaan disana membuat biaya produksi sapi bakalan tersebut sangat kompetitif dan belum bisa dilakukan di Indonesia dengan baik. Walaupun sejumlah wacana untuk melakukan produksi sapi bakalan di Indonesia bagian timur dan perkebunan sawit tetapi faktanya masih belum atau masih sangat minim. Selain itu menurut Gapuspindo (Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia) kebutuhan daging sapi dalam negeri juga belum terpenuhi atau masih kekurangan sekitar 60% dan kekurangan ini diisi dengan import daging kerbau dari India. Daging kerbau dari India tersebut sebenarnya harus dijual lebih murah dari daging sapi, tetapi faktanya malah sama dengan daging sapi. Kondisi tersebut semakin buruk terutama pada masa menjelang hari raya Idul Fitri dengan banyaknya daging haram yang beredar seperti daging babi hutan.
Briket arang adalah produk pengolahan kayu dari kebun tersebut. Produksi briket arang yang menggunakan bahan baku kayu tersebut juga harus dikelola dengan baik sehingga bisa terus berkelanjutan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah panen kayu untuk produksi briket arang tersebut jangan sampai melebihi produksi kayu dari kebun itu sendiri, misalnya kebutuhan kayu untuk produksi briket tersebut 1000 ton/bulan maka kecepatan produksi kayu dari kebun tersebut minimal sama dengan kayu yang dipanen setiap bulan tersebut. Teknik produksi briket arang juga tersedia 2 opsi atau rute seperti skema dibawah ini. Tetapi rute 1 yakni pembriketan sebelum karbonisasi, lebih banyak diminati karena kualitas briket yang dihasilkan lebih baik. Pada rute tersebut bahan baku biomasa kayu yang telah dikecilkan ukurannya (down sizing) sehingga ukuran partikelnya sesuai untuk produksi briket tersebut dan juga tingkat kekeringannya juga sudah disesuaikan lalu dibriket atau di press dalam mesin briket tanpa menggunakan perekat tambahan. Produk briket tersebut selanjutnya dikarbonisasi sehingga menjadi produk akhir berupa briket arang atau biasa dengan nama pasaran sawdust charcoal briquette.
Photo dari sini |
Dan terakhir, pada dasarnya kebutuhan pangan khususnya protein hewani serta lebih khusus lagi dari ruminansia domba, kambing dan sapi akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri. Penduduk dunia diperkirakan mencapai 10 milyar pada tahun 2050 atau 1,3 kali lipat saat ini dan penduduk Indonesia mencapai 319 juta jiwa pada 2045 atau 1,2 kali lipat dari saat ini. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah bonus demografi Indonesia. Bonus demografi dengan dominasi angkatan muda produktif seharusnya menjadi kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia jika didukung dan diarahkan dengan benar. Sektor ini tentu saja menjadi salah satu solusi. Dengan luas lahan di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk usaha ini insyaAllah mengatasi berbagai masalah penting saat ini seperti ketahanan pangan, mencegah kerusakan lingkungan, penciptaan lapangan kerja, peningkatan taraf hidup, peningkatan kualitas pangan dan sebagainya.